Resensi Buku Takhta Untuk Rakyat SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX

Takhta Untuk Rakyat



Judul Buku                            : Takhta Untuk Rakyat
Nama pengarang buku         : Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kusyiniyati
  Mochtar, S. Maimoen
Nama penerbit buku             : PT Gramedia Pustaka Utama
Ketebelan buku                     : 437 hal
Tahun terbit buku                : 2012
Nomor edisi buku                  : 978-979-22-6767-9


Jumat Legi, sore hari April 1912 bertempat di kediaman GPH Haryo Puruboyo  Kampung Sompilan, semua anggota keluarga dan abdi dalem diliputi suasana menunggu. Senja berganti malam, tepat pada pukul 22.30 lahirlah putra dari R.A. Kustilah yang diberi nama Dorojatun . Dorojatun kecil hidup bersama sanak keluarga dan saudara-saudaranya di Purubayan. Dorojatun belum genap tiga tahun saat ayahnya diangkat menjadi Sultan. Kehidupan berjalan, hingga pada umur empat tahun dorojatun dipindahkan untuk in de kost kepada keluarga Mulder di Belanda, tidak hanya Dorojatun saja yang dipondokkan, saudaranya pun juga dipondokkan dipisahkan dengan orang tuanya supaya bisa mandiri, itulah kepurusan Sultan HB VIII yang banyak menuai pro-kontra dari kalangan keluarga, abdi dalem, hingga rakyat. Sri Sultan HB VIII telah melihat jauh kedepan, bahwa menyanjung atau memanjakan sebagaimana bangsawan lainnya yang diterapkan sangat tidak baik bagi pendidikan putra-putranya, tetapi beliau menghendaki yang keras. Putra-putranya harus hidup diluar Kraton, pendidikan yang jauh dari ibunya justru diharapkan anaj-anaka tersebut tidak menjadi manja dan dapat mandiri.
Dorojatun bersama saudara-saudaranya sekolah di Belanda sampai tahun 1939 dimana pada waktu itu Jerman sudah menyerang Polandia, yang berarti Perang Dunia II sudah dimulai. Timbul kekhawatiran dari Sri Sultan HB VIII, Jerman juga akan menyerang Belanda, maka segera Sri Sultan HB VIII memerintahkan agar putra-putranya pulang. Pada tanggal 18 Oktober 1939 B.R.M. Dorojatun mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok. Sebelum memenuhi undangan Gubernur Jendral, Dorojatun dibusanai oleh Sri Sultan HB VIII sekaligus dipasangkan  Keris Kanjeng Kyai Jokopiturun yang menandai bahwa Dorojatun otomatis menjadi putra mahkota. Dalam perjalanan pulang Sri Sultan HB VIII mengalami sakit keras hingga tidak sadarkan diri, beliau baru ditangani oleh dokter pribadinya saat berada di Stasiun Wates. Sesampainya di Stasiun Tugu Sri Sultan HB VIII langsung dibawa menuju RS Onder de Bogen. Hingga akhirnya Sang Sultan menghembuskan nafas terakhirnya pada 22 Oktober 1939.
Dalam acara rapat keluarga keraton dalam penentuan sultan, semua keluarga mendukung Dorojatun menjadi Sultan HB IX yang menjadikannya harus berhadapan dengan Belanda dalam rangka perundingan dalam rangka mempersiapkan Politik Kontrak. Perundingan dengan Belanda berjalan alot hingga Gubernur Lucien Adam didesak oleh atasannya untuk segera menyelesaikan perundingan dengan Sri Sultan HB IX. Pada akhir bulan Februari 1940, dalam situasi lelah, stress dan antara bangun dan tidur sore hari, Dorojatun mendengar bisikan gaib yang iya yakini berasal dari para leluhurnya yang berbunyi :
"Thole tekenen wae, Landa bakal lungo saka bumi kene)
(Anakku tandatangani saja, Belanda akan pergi dari negeri ini)

Dengan demikian kontrak antara Keraton Ngayogyakarta dengan Belanda ditandatangani oleh Sri Sultan HB IX pada 12 Maret 1940. Lalu pada 18 Maret 1940 di Siti Hinggil Kraton Ngayogyakarta. Dalam upacara ini ada 2 penobatan Jumenengan, yaitu:
1.     G.R.M. Dorojatun dinobatkan sebaga Putra Mahkota bergelar Pangeran
Adipati Anom Hamengkunegara Suddibyo Raja Putra Narendra Mataram.

2.     Kemudian Putra Mahkota ini diangkat sebagai sultan bergelar Ngarsodalem Sampeyandalem Hingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Hing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping lX ( sanga).

Setelah melalui lika-liku menghadapi Belanda, selanjutnya Sri Sultan HB IX harus menghadapi Jepang yang berhasil menundukkan Belanda hingga akhirnya menyerah pada 8 Maret 1942. Dengan datangnya Jepang berbagai cara Sri Sultan HB IX menghindarkan rakyat dari rekruitmen romusha dengan membuat Selokan Mataram yang dananya berasal dari Pemerintah Pendudukan Jepang. Seiring berjalannya waktu masa pendudukan Jepang berakhir di Indonesia dan pada 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno bersama Drs. Moh. Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Peran sultan dalam kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Diawali dari amanat 5 September 1945 yang isinya bahwa Negari Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman secara hitam diatas putih (tertulis) menyatakan bergabung dengan Negara Republik Indonesia). Pada waktu para Pemimpin Negara Rl yang berada di lbu Kota Jakarta merasa tidak aman dan terancam  keselamatannya oleh Belanda yang masuk kembali dengan membonceng tentara Sekutu yang akan melucuti tentara Jepang. Sri Sultan HB lX mempersilahkan  para  pemimpin Negara Rl untuk memindahkan lbu Kota Negara ke Yogyakarta, dan perpindahan terjadi sejak 4 Januari 1946. Sri Sultan HB IX benar-benar memfasilitasi pemindahan ibu kota ke Yogyakarta. Dengan berbagai kejadian-kejadian yang mengancam keberadaan Republik Indonesia maka dibuatlah pemerintahan darurat di Bukittinggi. Di Yogyakarta sultan merencanakan serangan umum dalam rangka membuktikan bahwa Indonesia masih memiliki kewibawaan dan anggapan bahwa Indonesia sudah tiada dapat ditampik.
Hingga pada akhirnya Sri Sultan HB IX  menerima kembali kedaulatan RI dari wakil Mahkota Belanda A.H.J. Lovink di lstana Rijkwik di Jakarta pada 27 Desember 1949. Pada acara ini dihadiri utusan-utusan dari Negara-Negara India, Pakistan, Filiphina, Mesir, Birma, Negara-Negara Arab, Siyam (Muangthai).  Pada upacara penyerahan kedaulatan ini Sri Sultan HB IX menegaskan dalam pidatonya: "Bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka bercita-cita menyumbang kebahagiaan umat manusia dan membantu tercapainya perdamaian dunia." Peran Sri Sultan HB IX terhadap kemerdekaan Indonesia sangatlah besar, tak hanya dalam masa perjuangan merebut kemerdekaan. Tetapi perjuangan pada masa-masa awal berdirinya republik Sri Sultan HB IX juga membantu pendanaan terhadap keberlangsungan republik yang baru berdiri. Dalam perjalanannya menuju pengakuan dari dunia Sri Sultan HB IX pula memiliki peranan yang cukup krusial sebagai wakil dari Indonesia di KMB dan wakil dari Indonesia dalam penyerahan kembali kedaulatan Indonesia dari Belanda. Memasuiki Orde Baru Sri Sultan HB IX juga menempati posisi strategis dalam jabatan pemerintah bahkan pada akhir kiprahnya di politik ia menempati jabatan wakil presiden RI. Hingga ia memutuskan untuk berhenti dalam kiprah politiknya dan kembali ke Yogyakarta untuk membangun daerahnya dan mengayomi rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat. Memasuki masa tuanya beliau lebih aktif dalam bidang sosial, budaya, olahraga dan kegiatan kepramukaan. Hingga pada masa perjalanan terakhir beliau meninggal di RS George Washington, USA dan dimakamkan di Makam Raja Jawa Imogiri, berakhirlah perjalanan hidup Sri Sultan HB IX yang kharismatik itu.
Banyak kejadian yang mengambarkan beliau adalah seorang pemimpin yang merakyat , nasionalis, dan loyal terhadap bangsa baik itu dari masa kemerdekaan hingga masa orde baru , misalnya :
Merakyat, dalam bunga rampai Tahta untuk rakyat ada cerita menyentuh tentang Sultan Hamengku Buwono IX, yang dituturkan oleh S. K Trimurti ( wartawan senior yang melihat pingsannya seorang pedagang gara-gara Sultan Hamengku Buwono IX ), ceritanya : Ketika itu ada seorang Ibu yang membakul beras menghentikan  Jip yang tengah berjalan ke Selatan, untuk menghantarkannya pergi berjualan ke Pasar Kranggan, Yogyakarta. Dan jip tersebut pun berhenti  dan Ibu tersbut menyuruh supir tersebut untuk mengangkat barangnya ke Jip tersebut. Setelah tibanya di pasar, Ibu itu memberi sejumlah uang ongkos menumpang, namun supir tersebut menolaknya . Ibu ini marah-marah mengira si supir meminta uang lebih, namun si supir langsung saja pergi. Seketika ada yang mendekati Ibu yang marah-marah tersebut dan berkata “ apakah ibu tahu supir itu siapa ? “. Namun ibu itu masih saja marah marah dan berkata “ saya tidak peduli namanya, emang supir tersebut agak aneh “. Polisi itu pun menjelaskan “ Kalau ibu belum tahu, supir itu adalah Sultan Hamengku Buwono IX , Raja Yogyakarta” seketika Ibu tersebut pingsan . Dapat dirasakan bagaiamana Sultan Hamengku Buwono IX dapat melebur dan begitu merakyat pada rakyatnya hingga rakyatnya pun tidak mengetahui itu adalah Sultan Hamengku Buwono IX.
 Nasionalis, Beliau berpikir bukan hanya untuk kemerdekaan kesultanan nya saja namun beliau lebih mementingkan kemerdekaan bangsa Indonesia, buktinya dia rela dan siap menjadikan Yogyakarta sebagai tempat Pemerintahan Indonesia sementara, karena Jakarta dalam masa mencekam dan bergabungya Yogyakarta dengan republik merupakan keputusan sultan yang sangat nasionalis.
 Loyalitas, Beliau memberikan gaji pejabat pemerintah saat ibu kota pindah ke Jogja tanpa meminta imbalan apapun dan itu semua bertujuan agar republik yang baru dibentuk itu bisa bertahan serta para pejabat itu bisa menafkahi anggota keluarganya.

Buku ini merupakan cetakan keempat yang sudah melalui revisi sehingga penggunaan Bahasa kurang baku sudah terminimalisir. Kosakata-kosakata dalam Bahasa Jawa maupun Belanda sudah diberikan penjelasan maknanya sehingga pembaca lebih mudah dalam memahaminya. Dari isi buku ini terdapat cerita dan kutipan yang dapat memberikan inspirasi dan semangat Nasionalisme dan patriotisme dalam diri pembaca. Buku ini juga sudah dilampirkan foto foto yang mendukung isi buku sesuai dengan keadaan pada waktu itu. 
Buku ini tidak hanya mengisahkan seluruh perjalanan kehidupan Sultan HB IX sejak dilahirkan di Keraton, berjuang pada zaman kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai kemudian dimakamkan di Perbukitan Imogiri, Bantul, Yogyakarta,
Buku ini harus dibaca, untuk bisa memahami, mengapa warga masyarakat Yogyakarta yang selembut kais sutra berubah menjadi sekeras batu karang jika mereka merasa dipaksa dan ditekan. Bagaimanapun, kekuasaan tradisional dengan legitimasi dari falsafah leluhur sarat mistik merupakan sebuah mata air perjuangan yang tidak pernah akan kering dan sekaligus tidak mungkin disurutkan.

TAKHTA UNTUK RAKYAT
CELAH-CELAH KEHIDUPAN SULTAN HAMENGKU BUWONO IX
UPT PERPUSTAKAAN UNY
92 ATM t3
library.uny.ac.id
tik.uny.ac.id
uny.ac.id

Komentar

Postingan Populer