OBJEK STUDI SOSIOLOGI
OBJEK STUDI SOSIOLOGI
1. FAKTA SOSIAL MENURUT EMILE DURKHEIM
Pengertian
Fakta Sosial
Kata fakta sosial pertama kali diperkenalkan
pada abad ke-19 oleh sosiolog Perancis yang bernama Emile Durkheim.
Durkheim menyatakan bahwa sosiologi harus menjadi 'ilmu dari fakta sosial'
yaitu membicarakan sesuatu yang umum yang mencakup keseluruhan masyarakat dan
berdiri sendiri serta terpisah dari manivestasi individu. Fakta sosial
ini diartikan sebagai gejala sosial yang abstrak, misalnya hukum, struktur
sosial, adat kebiasan,nilai, norma, bahasa, agama, dan tatanan kehidupan
lainnya yang memiliki kekuasaan tertentu untuk memaksa bahwa kekuasaan itu
terwujud dalam kehidupan masyarakat di luar kemampuan individu sehingga
individu menjadi tidak tampak. Selain itu, menurut Emile Durkheim metode
sosiologis yang dipraktikkan harus bersandar sepenuhnya pada prinsip dasar
bahwa fakta sosial harus dipelajari sebagai materi, yakni sebagai realitas
eksternal dari seorang individu. Jika tidak ada realitas di luar kesadaran
seorang individu, sosiologi sepenuhnya kekurangan materi.
Dalam buku Rules of Sociological Method,
Durkheim menulis: "Fakta sosial adalah setiap cara bertindak, baik tetap
maupun tidak, yang bisa menjadi pengaruh atau hambatan eksternal bagi seorang
individu." Dan dapat diartikan bahwa fakta sosial
adalah cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu
dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di dalam
masyarakat. Artinya, sejak manusia dilahirkan secara tidak langsung ia
diharuskan untuk bertindak sesuai dengan lingkungan sosial dimana ia
dididik dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari aturan tersebut.
Sehingga ketika seseorang berbuat lain dari apa yang diharapkan oleh
masyarakat maka ia akan mendapatkan tindakan koreksi, ejekan, celaan, bahkan
mendapat sebuah hukuman. Selain itu, fakta sosial memiliki 3 sifat yaitu:
eksternal, umum (general), dan memaksa (coercion).
1. Eksternal
Eksternal artinya fakta tersebut berada diluar
pertimbangan-pertimbangan seseorang dan telah ada begitu saja jauh
sebelum manusia ada didunia.
2. Koersif (Memaksa)
Fakta ini memeliki kekuatan untuk menekan dan
memaksa individu menerima dan melaksanakannya. Dalam fakta sosial sangat nyata
sekali bahwa individu itu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong dengan cara
tertentu yan dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan
sosialnya. Artinya, fakta sosial mempunyai kekuatan untuk memaksa
individu untuk melepaskan kemauannya sendiri sehingga eksistensi kemauannya
terlingkupi oleh semua fakta social.
3. Menyebar/umum (General)
Fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar
secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial ini
merupakan milik bersama, bukan sifat individu perseorangan.
Dari karakteristik di atas, dapat ditarik
benang merahnya bahwa fakta sosial mengarahkan pada sesuatu yang ada diluar
individu yang mengharuskannya untuk mengikuti adat istiadat, sopan santun, dan
tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai anggota masyarakat dan
melakukan hubungan antar individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat.
Dengan perkataan lain, fakta sosial seperti tindakan individu dalam melakukan
hubungan dengan anggota masyarakat lain yang berpedoman dengan norma-norma dan
adat istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan
anggota masyarakat lain.
Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak,
ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari
dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap
nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari
dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.
Penjelasan mengenai fakta sosial dapat dilakukan melalui 2 cara,
yaitu :
1. Penjelasan sebab-akibat
Fakta sosial harus dijelaskan berdasarkan
fakta-fakta sosial yang mendahuluinya sehingga dapat mengetahui sebab dari
terbentuknya fakta sosial tersebut. Setelah sebab tersebut ditemukan,
selanjutnya mencari penyebab fakta sosial tersebut masih ada. Kenyataan
bahwa fakta sosial itu masih ada selanjutnya dapat dijelaskan berdasarkan
fungsi yang dimilikinya.
2. Penjelasan fungsional
Fungsi suatu fakta sosial harus selalu
ditemukan dalam hubungannya dengan suatu tujuan sosial lainnya. Ini berari
bahwa harus diteliti apakah ada persamaan antara fakta yang ditinjau dengan
keperluan-keperluan umum dari organisme sosial itu dan dimana letak
persesuaiannya.
Perbedaan fakta sosial dengan fakta individu
1. Fakta sosial
Fakta sosial adalah perbuatan-perbuatan
yang ada diluar individu secara terpisah, umum, dan memaksa karena fakta itu
tidak dapat terlepas dari individu-individu secara bersama-sama serta
memaksakan individu berbuat sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Jadi fakta
sosial tidak menyatu dengan individu-individu secara utuh tetapi juga tidak
bisa lepas dari individu-individu tersebut. Inti dari fakta sosial ini yaitu
adanya tindakan yang dilakukan disebabkkan karena adanya pola dalam hubungan
sosial itu sendiri.
2. Fakta individu
Sedangkan fakta individu , sering disebut
sebagai fakta organis atau fakta psikis. Fakta organis ini merupakan tindakan
yang dilakukan dengan didasari kesadaran individu itu sendiri. sehingga tidak
ada bentuk intervensi dari luar yang memaksa seseorang untuk melakukan tindakan
tersebut karena tidak memerlukan sebuah pola dalam sistem sosial.
Menurut Emile Durkheim, fakta sosial tidak
dapat direduksi menjadi fakta individu, karena ia memiliki eksistensi yang
independen ditengah-tengah masyarakat. Fakta sosial sesungguhnya suatu kumpulan
dari fakta-fakta individu akan tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu realitas
yang riil. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa fakta sosial dihasilkan oleh
pengaruh dari fakta psikis (sui generis).
2. TINDAKAN SOSIAL MENURUT MAX WEBER
Max
Weber adalah salah satu ahli sosiologi dan
sejarah bangsa Jerman, lahir di Erfurt, 21 April 1864 dan meninggal dunia di
Munchen, 14 Juni 1920. Weber adalah guru besar di Freiburg (1894-1897),
Heidelberg (sejak 1897), dan Munchen (1919-1920). Weber
melihat sosiologi sebagai sebuah studi tentang tindakan sosial antar hubungan
sosial; dan itulah yang dimaksudkan dengan pengertian paradigma
definisi atau ilmu sosial itu (Ritzer
1975). Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manakala tindakan itu
ditujukan pada orang lain.
Tindakan sosial menurut Max Weber
adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu
mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada
tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan
individu yang diarahkan kepada benda mati
tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan
akan dikatakan sebagai tindakan social ketika tindakan tersebut benar-benar
diarahkan kepada orang lain (individu lainnya). Meski tak
jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan
yang bersifat membatin atau bersifat subjektif
yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari
situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang
kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa
atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner
2000).
Ciri-ciri tindakan sosial
Ada 5 ciri pokok Tindakan sosial menurut Max Weber
sebagai berikut:
1. Jika tindakan manusia itu menurut aktornya
mengandung makna subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai
tindakan nyata
2. Tindakan nyata itu bisa bersifat
membatin sepenuhnya
3. Tindakan itu bisa berasal dari
akibat pengaruh positif atas suatu situasi,
tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan
secara diam-diam dari pihak mana pun
4. Tindakan itu diarahkan
kepada seseorang atau kepada beberapa individu
5. Tindakan itu memperhatikan
tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain
itu.
Selain kelima ciri
pokok tersebut, menurut Weber tindakan sosial dapat pula
dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu
sekarang, waktu lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu
tindakan social bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang.
Campbell (1981).
Tipe tindakan sosial
Weber membedakan tindakan sosial manusia ke dalam empat tipe
yaitu:
1. Tindakan rasionalitas instrumental (Zwerk Rational)
Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan
seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan
dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya. Contohnya : Seorang siswa yang sering terlambat dikarenakan tidak
memiliki alat transportasi, akhirnya ia membeli sepeda motor agar ia datang
kesekolah lebih awal dan tidak terlambat. Tindakan ini telah dipertimbangkan dengan
matang agar ia mencapai tujuan tertentu. Dengan perkataan lain menilai
dan menentukan tujuan itu dan bisa saja tindakan
itu dijadikan sebagai cara untuk mencapai tujuan lain.
2. Tindakan rasional nilai (Werk Rational)
Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat
yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara
tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu
yang bersifat absolut. Contoh : perilaku beribadah atau seseorang mendahulukan
orang yang lebih tua ketika antri sembako. Artinya, tindakan sosial ini telah
dipertimbangkan terlebih dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun
nilai agama yang ia miliki.
3. Tindakan afektif/Tindakan yang dipengaruhi
emosi (Affectual Action)
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi
tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya
spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu.
Contohnya: hubungan kasih sayang antara dua remaja yang sedang jatuh cinta atau
sedang dimabuk asmara.Tindakan ini biasanya terjadi atas rangsangan dari luar yang bersifat
otomatis sehingga bias berarti
4. Tindakan tradisional/Tindakan karena
kebiasaan (Traditional Action)
Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku
tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang
sadar atau perencanaan. Tindakan pulang kampong disaat lebaran atau Idul Fitri
3. IMAJINASI SOSIAL
C. Pemikiran Teori C. Wright Mills
Dengan imajinasi sosiologis seseorang dapat
memahami pandangan historis yang lebih luas; dari segi pengertiannya terhadap
hakikat kahidupan (inner life) dan kebutuhan kehidupan (external career)
berbagai individu. Dengan menggunakan itu dia dapat melihat bagaimana
individu-individu, dalam keruwetan pengalaman sehari-harinya sering
mengisruhkan posisi sosial mereka. Dalam keruwetan itu dicari kerangka
masyarakat modern dan dalam kerangka demikian psikologi berbagai manusia dirumuskan.
Dengan sarana-sarana itu kegelisahan pribadi para individu dipusatkan pada
kesulitan-kesulitan eksplisit dan kesamaan-kesamaan publik diubah menjadi
keterlibatan dengan isu publik (Mills1959:5).
Demikian sebuah kutipan Mills yang sedikit
mengungkapkan teorinya tentang psikologi sosial akibat kegelisahan dan problem
individu yang sedang di hadapi sehingga mempengaruhi keadaan sosial yang ada
dalam masyarakat. Di lain pihak keadaan struktur dalam lembaga atau organisasi
masyarakat berada dalam keadaan kurang stabil sebagai akibat dari konstelasi
konflik kepentingan yang berkepanjangan. Keadaan yang kurang kondusif dalam
masyarakat dinilai sebagai pengaruh atau disebabkan oleh keadaan individu yang
sedang gelisah/berada dalam tekanan dan keruwetan pengalaman yang dihadapi.
Disamping itu ada dua model identifikasi
penelitian sosiologis yang kemudian di sintesisikan oleh Mills yang disebut
Imajinasi Sosiologis. Imanjinasi Sosiologis ini gabungan dari dua penelitian
yang diidentifikasikan oleh Mills Makroscopik dan Molekular. Makroskopik,
behubungan dengan keseluruhan struktur sosial dalam cara perbandingan; beruang
lingkup sama dengan ruang lingkup ahli sejarah dunia, mencoba menampilkan
tipe-tipe fenomena historis, dan secara sistematis menghubungkan berbagai
lingkungan institusional masyarakat yang kenudian dikaitkan dengan tipe-tipe
manusia yang ada. Molekular, ditandai dengan masalah-masalah berskala kecil
dengan kebiasaan menggunakan model verifikasi statistik.
Imajinasi sosiologi merupakan kemampuan untuk
mengkap sejarah dan biografi serta daya gunanya dalam masyarakat. Mills
menambahkan pada tekanan sosial psikologis terletak di dimensi sejarah dan
kesadaran akan pengaruh kekuasaan terhadap struktur sosial. Kepercayaan
terhadap kebebasan manusia untuk mengubah sejarah, menyebabkan dia menuntut
pembaharuan sosiologi yang bermanfaat bagimasyarakat.
Psikologi Sosial Mills didasarkan atas
kecenderungan individu untuk terlibat dalam masyarakat dan struktur sosial dan
lembaga-lembaga sosial yang ada. Individu diasumsikan mampu untuk merubah
pola-pola yang ada dalam struktur dengan kesadaran sejarah atau pengalaman yang
ia refleksikan dalam kehidupanya. Artinay bahwa kebebasan individu dan
kesadarannya pada masyarakat dan lembaga ditentukan oleh tingkah laku individu
yang sedang dalam keadaan goncang atau kerumitan yang ia alami di
lingkungannya.
Sementara itu kekuasaan yang ada dalam lembaga
tertentu di senantiasa berada dalam tingkat konflik yang terus berkepanjangan
antara individu yang mempunyai tingkat sejarah dan pengalaman berbeda dalam
refleksi problemnya, sehingga kekacauan yang ada dilembaga terletak pada
individu itu sendiri yang mampu merubah dan menggeser struktur yang telah ada.
Kerumitan dan kegoncangan yang telah ada pada masing-masing individu menjadi
titik temu yang signifikan dalam perubahan lembaga tersebut.
4. REALITAS SOSIAL
“SEGALA sesuatu
pasti akan menghampiri masa transisi ( perubahan ), sedangkan yang tidak akan
berubah adalah perubahan itu sendiri”. itulah peribahasa klasik yang tetap
relevan hingga masa dewasa saat ini. Tak terkecuali dengan disiplin sosiologi
yang tetap meneruskan keeksistensiannya dalam pelbagai perubahan. Dan semua
perubahan yang dialami oleh ilmu sosiologi itu sendiri, didasari oleh tuntutan
zaman yang semakin menunjukan taringnya dalam menentukan integritas sebuah
literatur sosial. Kecerdasan ideologi manusia modern saat ini pun yang menjadi
motivasi primer dalam pengembangan kekompleksitasan institusi sosial.
Realitas
sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga
oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian
secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan
pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.
Realitas sosial
berbeda dari individu biologis kognitif realitas atau kenyataan, dan terdiri
dari prinsip-prinsip sosial yang diterima dari suatu komunitas. Sebagian ulama
seperti John Searle percaya bahwa realitas sosial dapat dibentuk secara
terpisah dari setiap individu atau ekologi sekitarnya (bertentangan dengan
pandangan psikologi persepsi termasuk JJ Gibson, dan orang-orang yang paling
ekologis teori ekonomi) . Yang paling terkenal prinsip realitas sosial adalah
“kebohongan besar”, yang menyatakan bahwa kebohongan yang luar biasa lebih
mudah untuk meyakinkan orang-orang yang kurang heboh daripada kebenaran. Banyak
contoh dari politik dan teologi, e.g. klaim bahwa Kaisar Romawi ternyata adalah
seorang “dewa”, menunjukkan bahwa prinsip ini dikenal dengan efektif
propagandis dari awal kali, dan terus diterapkan hingga hari ini, misalnya
model propaganda Noam Chomsky dan Edward S. Herman, yang mendukung ‘kebohongan
besar’ tesis dengan lebih spesifik. Masalah realitas sosial telah diperlakukan
secara mendalam oleh para filsuf dalam tradisi fenomenologis, terutama Alfred
Schütz, yang menggunakan istilah dunia sosial untuk menunjuk ini tingkat
realitas yang berbeda. Sebelumnya, subjek telah dibahas dalam sosiologi serta
disiplin ilmu lainnya. Herbert Spencer, misalnya, istilah super-organik untuk
membedakan tingkat sosial realitas di atas biologis dan psikologis
Saat ini,
berdasarkan realitas yang ada, sudah jelas bahwa kita berada pada gelombang
ketiga, dimana kita hidup di zaman yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi
yang memicu terjadinya ledakan informasi. Ledakan informasi yang terjadi
membawa berubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Kita telah
mengalami masa peralih dari masyarakat industri menjadi masyarakat
informasi.Contoh realitas sosial adalah konflik, kematian, proses hukum,
kriminalitas, olah raga, seni budaya, krisis ekonomi dan lain-lain. Sedangkan
realitas personal contohnya adalah mimpi dan hal-hal privacy lainnya yang tidak
diperkenankan menjadi bahan dasar penulisan berita. Itu berarti jurnalisme
tidak mungkin menjadikan realitas personal sebagai bahan penulisan berita
karena hakikat jurnalisme adalah sosial untuk kepentingan publik.
Seorang sosiolog
harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi
suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti
aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan
pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta
menghindari penilaian normatif. Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian
terutama kepada realitas sosial pada tingkatan makro-obyektif dan
makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas
sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan sebagai mikro-obyektif yang tergantung
kepada proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan
sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak tercakup kepada
proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut tingkahlaku yang
semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri actor, yang disini
disebut sebagai ‘behavior’ itu
Paradigma ilmu
sosial pada dasarnya mengakar kuat pada disiplin ilmu lainnya : disiplin
komunikasi, filsafat, antropologi dan disiplin sosiologi itu sendiri. Dari
cabang paradigma tersebut kemudian diformulasikan sehingga membentuk beragam
definisi yang berasal dari fakta sosial itu sendiri. Sosial berbudaya , sosial
berpolitik, sosial beragama, dsb. Semuanya itu dikembangkan oleh pengkajian
ilmiah para sosiolog terdahulu yang dilestarikan dalam bentuk tulisan maupun
lisan secara turun-temurun sehingga melahirkan reward bagi aspek perkembangan
zaman.
Indonesia adalah
negara yang berkembang dengan kebiasaan “berbicara“, tidak menggemari kebiasaan
menulis. Sampai untuk mengetahui historis dari sebuah kota di Indonesia, kita
harus jauh-jauh berangkat ke Belanda untuk mencari sumber-sumber yang relevan,
tentu saja sumber yang berbentuk tulisan. Sungguh ironis sekali bukan?. Itulah
salah satu penyebab mengapa kebanyakan orang Indonesia jago mengomentari, jago
dalam memperdebatkan suatu masalah, jago beroirientasi menggunakan kata-kata
lisan, tanpa menyadari mereka mampu atau tidaknya dalam mengimplementasikan
asumsi mereka sendiri. itulah kelemahan yang membudaya sejak 4 dekade
perkembangan bangsa kita ini.
Suatu perubahan
erat kaitannya dengan diri pribadi seseorang. Dan perubahan itu sendiri tidak
akan sempurna tanpa indikasi dari lingkungan sekitar. Begitu juga dengan
fenomena nyata dalam ruang lingkup dunia akademisi UIN Sunan Gunung Djati
Bandung ini. Sudah menjadi hukum alam pada sebuah intitusi akademik, semua para
penganut individulisme sejati saling bersitegang dengan mengerahkan semua
abilitas, memancarkan integritas, sampai harga diri pun dijual bebas demi menyandang
predikat sebagai “mahasiswa teladan” dengan IP diatas nilai rata-rata. Dengan
gejala seperti ini, semua elemen mahasiswa mengalami perubahan yang super
kompleks karena adanya motivasi untuk menjadi yang terbaik dari komunitas
orang-orang terbaik.
“Mahasiswa” dua
buah kata yang mengandung banyak makna, sehingga melahirkan banyak generasi
penerus bagi bangsa, sekaligus merupakan momok paling menakutkan bagi para
penguasa negara yang bertindak semena-mena. Tetesan darah dan peluh yang keluar
dari jiwa sosial mahasiswa menjadi saksi abadi bagi sejarah perkembangan
Indonesia. Salah satu peristiwa yang tak pernah membias dari pikiran kita
adalah peristiwa “Tragedi ’98”, ribuan jiwa melayang begitu saja tanpa adanya
pertanggungjawaban. Semua itu hanya mempertahahkan harga diri bangsa yang
diinjak-injak oleh rezim penguasa yang anarkis. Dan pada akhirnya perubahan
besar pun lahir dari peristiwa heroik para mahasiswa dengan mengibarkan bendera
Reformasi, menghembuskan nafas demokrasi, menjunjung tinggi hak azasi manusia
pun terealisasi berkat adanya gerakan mahasiswa tersebut.
Menciptakan suatu
perubahan tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak sesingkat mata
berkedip. Semuanya butuh proses dan tahap yang signifikan untuk mencapai hasrat
tersebut. Terlebih jika bidikan target yang akan dirubah berskala besar seperti
perubahan tatanan sosial suatu negara. Bangsa Indonesia selalu berusaha
menciptakan segala bentuk perubahan. Dari berbagai macam usaha perubahan
tersebut, banyak resiko dan pengorbanan yang ditempuh oleh semua elemen negara.
Tapi kenyataanya, semua hanya hisapan jempol belaka. Ruh-ruh pancasila yang
menjadi ideologi bangsa pun seakan bisu tak berbicara, hanya diam terpaku
pasrah digerogoti oleh penganutnya sendiri. Dimanakah letak kesalahan kita?
Apakah kita perlu merubah ideolgi bangsa yang kita anut sejak 64 tahun
belakangan ini?, Langkah apalagi yang harus kita ambil untuk menyelamatkan
nyawa bangsa ini?, Dan kapankah semua ini akan berakhir?. Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini yang seringkali muncul menghiasi dinding pikiran kita ketika
menyaksikan segala fenomena yang ada pada diri bangsa kita.
Pertanyaan diatas
sebenarnya pertanyaan yang diajukan oleh kita dan kepada kita sendiri yang
harus menjawabnya. Karena semua perubahan yang kita inginkan itu kembali kepada
diri kita sendiri yang harus melaksanakannya. Karena kalau bukan kita, siapa
lagi yang harus bertanggung jawab atas perbuatan dan kesalahan kita sendiri.
Inilah, permasalahan yang sudah menjamur menjadi fenomena abadi pada perkembangan negara kita. Penyelesaiannya pun tak pernah berujung, malah menimbulkan bibit-bibit baru yang semakin bercabang. Kebobrokan moral bangsa pun semakin menghawatirkan, kesejahteraan bagi masyarakat hanya sebagai hiasan janji para penebar impian, subsidi negara bagi pendidikan pun dimakan. Padahal, modal utama untuk memajukan bangsa adalah dari sektor pendidikan. Sumber Daya Alam yang kita miliki pun tidak diaplikasikan dengan sebaik-baiknya, semuanya disalah gunakan, maka tidak mustahil negara kita ini selalu ditimpah berbagai macam bencana alam, semua ini memang karena ketidakpiyawaian kita sendiri dalam mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan.
Inilah, permasalahan yang sudah menjamur menjadi fenomena abadi pada perkembangan negara kita. Penyelesaiannya pun tak pernah berujung, malah menimbulkan bibit-bibit baru yang semakin bercabang. Kebobrokan moral bangsa pun semakin menghawatirkan, kesejahteraan bagi masyarakat hanya sebagai hiasan janji para penebar impian, subsidi negara bagi pendidikan pun dimakan. Padahal, modal utama untuk memajukan bangsa adalah dari sektor pendidikan. Sumber Daya Alam yang kita miliki pun tidak diaplikasikan dengan sebaik-baiknya, semuanya disalah gunakan, maka tidak mustahil negara kita ini selalu ditimpah berbagai macam bencana alam, semua ini memang karena ketidakpiyawaian kita sendiri dalam mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan.
Pada akhirnya
saya mengambil kesimpulan, semua dampak yang kita rasakan saat ini, baik maupun
buruknya, semua itu mencerminkan bagaimana kita mengimplementasikan semua aspek
yang terkandung didalamnya.
Komentar
Posting Komentar