OBJEK STUDI SOSIOLOGI

OBJEK STUDI SOSIOLOGI

1. FAKTA SOSIAL MENURUT EMILE DURKHEIM


Pengertian Fakta Sosial
Kata fakta sosial pertama kali diperkenalkan pada abad ke-19 oleh sosiolog Perancis yang bernama Emile Durkheim.  Durkheim menyatakan bahwa sosiologi harus menjadi 'ilmu dari fakta sosial' yaitu membicarakan sesuatu yang umum yang mencakup keseluruhan masyarakat dan berdiri sendiri serta terpisah dari manivestasi  individu. Fakta sosial ini diartikan sebagai gejala sosial yang abstrak, misalnya hukum, struktur sosial, adat kebiasan,nilai, norma, bahasa, agama, dan tatanan kehidupan lainnya yang memiliki kekuasaan tertentu untuk memaksa bahwa kekuasaan itu terwujud dalam kehidupan masyarakat di luar kemampuan individu sehingga individu menjadi tidak tampak.  Selain itu, menurut Emile Durkheim metode sosiologis yang dipraktikkan harus bersandar sepenuhnya pada prinsip dasar bahwa fakta sosial harus dipelajari sebagai materi, yakni sebagai realitas eksternal dari seorang individu. Jika tidak ada realitas di luar kesadaran seorang individu, sosiologi sepenuhnya kekurangan materi.  
Dalam buku Rules of Sociological Method, Durkheim menulis: "Fakta sosial adalah setiap cara bertindak, baik tetap maupun tidak, yang bisa menjadi pengaruh atau hambatan eksternal bagi seorang individu." Dan dapat diartikan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di dalam masyarakat. Artinya, sejak manusia dilahirkan secara tidak langsung ia  diharuskan untuk bertindak sesuai dengan lingkungan sosial dimana ia dididik dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari aturan tersebut. Sehingga ketika seseorang berbuat lain dari apa yang diharapkan oleh masyarakat maka ia akan mendapatkan tindakan koreksi, ejekan, celaan, bahkan mendapat sebuah hukuman. Selain itu, fakta sosial memiliki 3 sifat yaitu: eksternal, umum (general), dan memaksa (coercion).
1.      Eksternal
Eksternal artinya fakta tersebut berada diluar pertimbangan-pertimbangan seseorang dan telah ada begitu saja jauh sebelum manusia ada didunia.
2.       Koersif (Memaksa)
Fakta ini memeliki kekuatan untuk menekan dan memaksa individu menerima dan melaksanakannya. Dalam fakta sosial sangat nyata sekali bahwa individu itu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong dengan cara tertentu yan dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.  Artinya, fakta sosial mempunyai kekuatan untuk memaksa individu untuk melepaskan kemauannya sendiri sehingga eksistensi kemauannya terlingkupi oleh semua fakta social.
3.      Menyebar/umum (General)
Fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial ini merupakan milik bersama, bukan sifat individu perseorangan.

Dari karakteristik di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa fakta sosial mengarahkan pada sesuatu yang ada diluar individu yang mengharuskannya untuk mengikuti adat istiadat, sopan santun, dan tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai anggota masyarakat dan melakukan hubungan antar individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat. Dengan perkataan lain, fakta sosial seperti tindakan individu dalam melakukan hubungan dengan anggota masyarakat lain yang berpedoman dengan norma-norma dan adat istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan anggota masyarakat lain.

Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1.      Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2.      Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.

Penjelasan mengenai fakta sosial dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu :
1.      Penjelasan sebab-akibat
Fakta sosial harus dijelaskan berdasarkan fakta-fakta sosial yang mendahuluinya sehingga dapat mengetahui sebab dari terbentuknya fakta sosial tersebut. Setelah sebab tersebut ditemukan, selanjutnya mencari  penyebab fakta sosial tersebut masih ada. Kenyataan bahwa fakta sosial itu masih ada selanjutnya dapat dijelaskan berdasarkan fungsi yang dimilikinya.
2.      Penjelasan fungsional
Fungsi suatu fakta sosial harus selalu ditemukan dalam hubungannya dengan suatu tujuan sosial lainnya. Ini berari bahwa harus diteliti apakah ada persamaan antara fakta yang ditinjau dengan keperluan-keperluan umum dari organisme sosial itu dan dimana letak persesuaiannya.

Perbedaan fakta sosial dengan fakta individu
1.      Fakta sosial
Fakta sosial adalah  perbuatan-perbuatan yang ada diluar individu secara terpisah, umum, dan memaksa karena fakta itu tidak dapat terlepas dari individu-individu secara bersama-sama serta memaksakan individu berbuat sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Jadi fakta sosial tidak menyatu dengan individu-individu secara utuh tetapi juga tidak bisa lepas dari individu-individu tersebut. Inti dari fakta sosial ini yaitu adanya tindakan yang dilakukan disebabkkan karena adanya pola dalam hubungan sosial itu sendiri.
2.      Fakta individu
Sedangkan fakta individu , sering disebut sebagai fakta organis atau fakta psikis. Fakta organis ini merupakan tindakan yang dilakukan dengan didasari kesadaran individu itu sendiri. sehingga tidak ada bentuk intervensi dari luar yang memaksa seseorang untuk melakukan tindakan tersebut karena tidak memerlukan sebuah pola dalam sistem sosial.
Menurut Emile Durkheim, fakta sosial tidak dapat direduksi menjadi fakta individu, karena ia memiliki eksistensi yang independen ditengah-tengah masyarakat. Fakta sosial sesungguhnya suatu kumpulan dari fakta-fakta individu akan tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu realitas yang riil. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa fakta sosial dihasilkan oleh pengaruh dari fakta psikis (sui generis).

2. TINDAKAN SOSIAL MENURUT MAX WEBER

             
           Max Weber  adalah  salah  satu ahli sosiologi dan sejarah bangsa Jerman, lahir di Erfurt, 21 April 1864 dan meninggal dunia di Munchen, 14 Juni 1920. Weber adalah guru besar di Freiburg (1894-1897), Heidelberg (sejak 1897), dan Munchen (1919-1920). Weber melihat  sosiologi  sebagai  sebuah  studi  tentang  tindakan  sosial  antar hubungan sosial; dan  itulah yang dimaksudkan dengan pengertian paradigma definisi atau ilmu sosial  itu (Ritzer 1975).  Tindakan  manusia  dianggap  sebagai  sebuah bentuk  tindakan  sosial  manakala  tindakan  itu ditujukan  pada  orang  lain.  
       Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu  tindakan  individu sepanjang  tindakan  itu mempunyai makna atau arti subjektif  bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975).  Suatu  tindakan  individu  yang  diarahkan  kepada  benda  mati  tidak  masuk  dalam  kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan social ketika  tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada   orang  lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan  sosial  dapat  berupa  tindakan  yang  bersifat membatin  atau  bersifat  subjektif  yang mungkin terjadi  karena  pengaruh  positif  dari  situasi  tertentu.  Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali  dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000).
Ciri-ciri tindakan sosial
Ada 5 ciri pokok  Tindakan sosial menurut Max Weber  sebagai  berikut: 
1.   Jika  tindakan manusia  itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal  ini bisa meliputi berbagai  tindakan nyata 
2.      Tindakan nyata  itu bisa bersifat membatin  sepenuhnya 
3.     Tindakan  itu  bisa  berasal  dari  akibat  pengaruh  positif  atas  suatu  situasi,  tindakan yang sengaja diulang, atau  tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana  pun
4.      Tindakan  itu  diarahkan  kepada  seseorang  atau  kepada  beberapa  individu
5.      Tindakan  itu memperhatikan  tindakan orang  lain dan  terarah  kepada orang  lain  itu.

Selain  kelima  ciri pokok  tersebut, menurut Weber  tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu  lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan social bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang. Campbell  (1981).

Tipe tindakan sosial

Weber membedakan tindakan sosial manusia ke dalam empat tipe yaitu:
1.      Tindakan rasionalitas instrumental (Zwerk Rational)
Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Contohnya : Seorang siswa yang sering terlambat dikarenakan tidak memiliki alat transportasi, akhirnya ia membeli sepeda motor agar ia datang kesekolah lebih awal dan tidak terlambat. Tindakan ini telah dipertimbangkan dengan matang agar ia mencapai tujuan tertentu. Dengan perkataan lain menilai  dan  menentukan  tujuan  itu dan bisa saja  tindakan  itu dijadikan sebagai cara untuk mencapai  tujuan  lain.
2.      Tindakan rasional nilai (Werk Rational)
Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Contoh : perilaku beribadah atau seseorang mendahulukan orang yang lebih tua ketika antri sembako. Artinya, tindakan sosial ini telah dipertimbangkan terlebih dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang ia miliki.
3.      Tindakan  afektif/Tindakan yang dipengaruhi emosi  (Affectual Action)
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Contohnya: hubungan kasih sayang antara dua remaja yang sedang jatuh cinta atau sedang dimabuk asmara.Tindakan ini biasanya terjadi atas rangsangan dari  luar yang bersifat otomatis sehingga bias berarti
4.      Tindakan  tradisional/Tindakan karena kebiasaan (Traditional Action
Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan pulang kampong disaat lebaran atau Idul Fitri



3. IMAJINASI  SOSIAL

C. Pemikiran Teori C. Wright Mills

Dengan imajinasi sosiologis seseorang dapat memahami pandangan historis yang lebih luas; dari segi pengertiannya terhadap hakikat kahidupan (inner life) dan kebutuhan kehidupan (external career) berbagai individu. Dengan menggunakan itu dia dapat melihat bagaimana individu-individu, dalam keruwetan pengalaman sehari-harinya sering mengisruhkan posisi sosial mereka. Dalam keruwetan itu dicari kerangka masyarakat modern dan dalam kerangka demikian psikologi berbagai manusia dirumuskan. Dengan sarana-sarana itu kegelisahan pribadi para individu dipusatkan pada kesulitan-kesulitan eksplisit dan kesamaan-kesamaan publik diubah menjadi keterlibatan dengan isu publik (Mills1959:5). 

Demikian sebuah kutipan Mills yang sedikit mengungkapkan teorinya tentang psikologi sosial akibat kegelisahan dan problem individu yang sedang di hadapi sehingga mempengaruhi keadaan sosial yang ada dalam masyarakat. Di lain pihak keadaan struktur dalam lembaga atau organisasi masyarakat berada dalam keadaan kurang stabil sebagai akibat dari konstelasi konflik kepentingan yang berkepanjangan. Keadaan yang kurang kondusif dalam masyarakat dinilai sebagai pengaruh atau disebabkan oleh keadaan individu yang sedang gelisah/berada dalam tekanan dan keruwetan pengalaman yang dihadapi.

Disamping itu ada dua model identifikasi penelitian sosiologis yang kemudian di sintesisikan oleh Mills yang disebut Imajinasi Sosiologis. Imanjinasi Sosiologis ini gabungan dari dua penelitian yang diidentifikasikan oleh Mills Makroscopik dan Molekular. Makroskopik, behubungan dengan keseluruhan struktur sosial dalam cara perbandingan; beruang lingkup sama dengan ruang lingkup ahli sejarah dunia, mencoba menampilkan tipe-tipe fenomena historis, dan secara sistematis menghubungkan berbagai lingkungan institusional masyarakat yang kenudian dikaitkan dengan tipe-tipe manusia yang ada. Molekular, ditandai dengan masalah-masalah berskala kecil dengan kebiasaan menggunakan model verifikasi statistik.

Imajinasi sosiologi merupakan kemampuan untuk mengkap sejarah dan biografi serta daya gunanya dalam masyarakat. Mills menambahkan pada tekanan sosial psikologis terletak di dimensi sejarah dan kesadaran akan pengaruh kekuasaan terhadap struktur sosial. Kepercayaan terhadap kebebasan manusia untuk mengubah sejarah, menyebabkan dia menuntut pembaharuan sosiologi yang bermanfaat bagimasyarakat. 

Psikologi Sosial Mills didasarkan atas kecenderungan individu untuk terlibat dalam masyarakat dan struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada. Individu diasumsikan mampu untuk merubah pola-pola yang ada dalam struktur dengan kesadaran sejarah atau pengalaman yang ia refleksikan dalam kehidupanya. Artinay bahwa kebebasan individu dan kesadarannya pada masyarakat dan lembaga ditentukan oleh tingkah laku individu yang sedang dalam keadaan goncang atau kerumitan yang ia alami di lingkungannya.

Sementara itu kekuasaan yang ada dalam lembaga tertentu di senantiasa berada dalam tingkat konflik yang terus berkepanjangan antara individu yang mempunyai tingkat sejarah dan pengalaman berbeda dalam refleksi problemnya, sehingga kekacauan yang ada dilembaga terletak pada individu itu sendiri yang mampu merubah dan menggeser struktur yang telah ada. Kerumitan dan kegoncangan yang telah ada pada masing-masing individu menjadi titik temu yang signifikan dalam perubahan lembaga tersebut.


4. REALITAS SOSIAL

“SEGALA sesuatu pasti akan menghampiri masa transisi ( perubahan ), sedangkan yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri”. itulah peribahasa klasik yang tetap relevan hingga masa dewasa saat ini. Tak terkecuali dengan disiplin sosiologi yang tetap meneruskan keeksistensiannya dalam pelbagai perubahan. Dan semua perubahan yang dialami oleh ilmu sosiologi itu sendiri, didasari oleh tuntutan zaman yang semakin menunjukan taringnya dalam menentukan integritas sebuah literatur sosial. Kecerdasan ideologi manusia modern saat ini pun yang menjadi motivasi primer dalam pengembangan kekompleksitasan institusi sosial.
Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.
Realitas sosial berbeda dari individu biologis kognitif realitas atau kenyataan, dan terdiri dari prinsip-prinsip sosial yang diterima dari suatu komunitas. Sebagian ulama seperti John Searle percaya bahwa realitas sosial dapat dibentuk secara terpisah dari setiap individu atau ekologi sekitarnya (bertentangan dengan pandangan psikologi persepsi termasuk JJ Gibson, dan orang-orang yang paling ekologis teori ekonomi) . Yang paling terkenal prinsip realitas sosial adalah “kebohongan besar”, yang menyatakan bahwa kebohongan yang luar biasa lebih mudah untuk meyakinkan orang-orang yang kurang heboh daripada kebenaran. Banyak contoh dari politik dan teologi, e.g. klaim bahwa Kaisar Romawi ternyata adalah seorang “dewa”, menunjukkan bahwa prinsip ini dikenal dengan efektif propagandis dari awal kali, dan terus diterapkan hingga hari ini, misalnya model propaganda Noam Chomsky dan Edward S. Herman, yang mendukung ‘kebohongan besar’ tesis dengan lebih spesifik. Masalah realitas sosial telah diperlakukan secara mendalam oleh para filsuf dalam tradisi fenomenologis, terutama Alfred Schütz, yang menggunakan istilah dunia sosial untuk menunjuk ini tingkat realitas yang berbeda. Sebelumnya, subjek telah dibahas dalam sosiologi serta disiplin ilmu lainnya. Herbert Spencer, misalnya, istilah super-organik untuk membedakan tingkat sosial realitas di atas biologis dan psikologis
Saat ini, berdasarkan realitas yang ada, sudah jelas bahwa kita berada pada gelombang ketiga, dimana kita hidup di zaman yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang memicu terjadinya ledakan informasi. Ledakan informasi yang terjadi membawa berubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Kita  telah mengalami masa peralih dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.Contoh realitas sosial adalah konflik, kematian, proses hukum, kriminalitas, olah raga, seni budaya, krisis ekonomi dan lain-lain. Sedangkan realitas personal contohnya adalah mimpi dan hal-hal privacy lainnya yang tidak diperkenankan menjadi bahan dasar penulisan berita. Itu berarti jurnalisme tidak mungkin menjadikan realitas personal sebagai bahan penulisan berita karena hakikat jurnalisme adalah sosial untuk kepentingan publik.
Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif. Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada realitas sosial pada tingkatan makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan sebagai mikro-obyektif yang tergantung kepada proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak tercakup kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri actor, yang disini disebut sebagai ‘behavior’ itu
Paradigma ilmu sosial pada dasarnya mengakar kuat pada disiplin ilmu lainnya : disiplin komunikasi, filsafat, antropologi dan disiplin sosiologi itu sendiri. Dari cabang paradigma tersebut kemudian diformulasikan sehingga membentuk beragam definisi yang berasal dari fakta sosial itu sendiri. Sosial berbudaya , sosial berpolitik, sosial beragama, dsb. Semuanya itu dikembangkan oleh pengkajian ilmiah para sosiolog terdahulu yang dilestarikan dalam bentuk tulisan maupun lisan secara turun-temurun sehingga melahirkan reward bagi aspek perkembangan zaman.
Indonesia adalah negara yang berkembang dengan kebiasaan “berbicara“, tidak menggemari kebiasaan menulis. Sampai untuk mengetahui historis dari sebuah kota di Indonesia, kita harus jauh-jauh berangkat ke Belanda untuk mencari sumber-sumber yang relevan, tentu saja sumber yang berbentuk tulisan. Sungguh ironis sekali bukan?. Itulah salah satu penyebab mengapa kebanyakan orang Indonesia jago mengomentari, jago dalam memperdebatkan suatu masalah, jago beroirientasi menggunakan kata-kata lisan, tanpa menyadari mereka mampu atau tidaknya dalam mengimplementasikan asumsi mereka sendiri. itulah kelemahan yang membudaya sejak 4 dekade perkembangan bangsa kita ini.
Suatu perubahan erat kaitannya dengan diri pribadi seseorang. Dan perubahan itu sendiri tidak akan sempurna tanpa indikasi dari lingkungan sekitar. Begitu juga dengan fenomena nyata dalam ruang lingkup dunia akademisi UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini. Sudah menjadi hukum alam pada sebuah intitusi akademik, semua para penganut individulisme sejati saling bersitegang dengan mengerahkan semua abilitas, memancarkan integritas, sampai harga diri pun dijual bebas demi menyandang predikat sebagai “mahasiswa teladan” dengan IP diatas nilai rata-rata. Dengan gejala seperti ini, semua elemen mahasiswa mengalami perubahan yang super kompleks karena adanya motivasi untuk menjadi yang terbaik dari komunitas orang-orang terbaik.
“Mahasiswa” dua buah kata yang mengandung banyak makna, sehingga melahirkan banyak generasi penerus bagi bangsa, sekaligus merupakan momok paling menakutkan bagi para penguasa negara yang bertindak semena-mena. Tetesan darah dan peluh yang keluar dari jiwa sosial mahasiswa menjadi saksi abadi bagi sejarah perkembangan Indonesia. Salah satu peristiwa yang tak pernah membias dari pikiran kita adalah peristiwa “Tragedi ’98”, ribuan jiwa melayang begitu saja tanpa adanya pertanggungjawaban. Semua itu hanya mempertahahkan harga diri bangsa yang diinjak-injak oleh rezim penguasa yang anarkis. Dan pada akhirnya perubahan besar pun lahir dari peristiwa heroik para mahasiswa dengan mengibarkan bendera Reformasi, menghembuskan nafas demokrasi, menjunjung tinggi hak azasi manusia pun terealisasi berkat adanya gerakan mahasiswa tersebut.
Menciptakan suatu perubahan tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak sesingkat mata berkedip. Semuanya butuh proses dan tahap yang signifikan untuk mencapai hasrat tersebut. Terlebih jika bidikan target yang akan dirubah berskala besar seperti perubahan tatanan sosial suatu negara. Bangsa Indonesia selalu berusaha menciptakan segala bentuk perubahan. Dari berbagai macam usaha perubahan tersebut, banyak resiko dan pengorbanan yang ditempuh oleh semua elemen negara. Tapi kenyataanya, semua hanya hisapan jempol belaka. Ruh-ruh pancasila yang menjadi ideologi bangsa pun seakan bisu tak berbicara, hanya diam terpaku pasrah digerogoti oleh penganutnya sendiri. Dimanakah letak kesalahan kita? Apakah kita perlu merubah ideolgi bangsa yang kita anut sejak 64 tahun belakangan ini?, Langkah apalagi yang harus kita ambil untuk menyelamatkan nyawa bangsa ini?, Dan kapankah semua ini akan berakhir?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang seringkali muncul menghiasi dinding pikiran kita ketika menyaksikan segala fenomena yang ada pada diri bangsa kita.
Pertanyaan diatas sebenarnya pertanyaan yang diajukan oleh kita dan kepada kita sendiri yang harus menjawabnya. Karena semua perubahan yang kita inginkan itu kembali kepada diri kita sendiri yang harus melaksanakannya. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang harus bertanggung jawab atas perbuatan dan kesalahan kita sendiri.
Inilah, permasalahan yang sudah menjamur menjadi fenomena abadi pada perkembangan negara kita. Penyelesaiannya pun tak pernah berujung, malah menimbulkan bibit-bibit baru yang semakin bercabang. Kebobrokan moral bangsa pun semakin menghawatirkan, kesejahteraan bagi masyarakat hanya sebagai hiasan janji para penebar impian, subsidi negara bagi pendidikan pun dimakan. Padahal, modal utama untuk memajukan bangsa adalah dari sektor pendidikan. Sumber Daya Alam yang kita miliki pun tidak diaplikasikan dengan sebaik-baiknya, semuanya disalah gunakan, maka tidak mustahil negara kita ini selalu ditimpah berbagai macam bencana alam, semua ini memang karena ketidakpiyawaian kita sendiri dalam mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan.
Pada akhirnya saya mengambil kesimpulan, semua dampak yang kita rasakan saat ini, baik maupun buruknya, semua itu mencerminkan bagaimana kita mengimplementasikan semua aspek yang terkandung didalamnya.

Komentar

Postingan Populer